Minggu, 17 Juli 2016

ISLAMIC GROUP LENDING MODEL: SEBUAH ANALISIS SEM



Program GLM pada umumnya dibangun dengan melibatkan masyarakat yang memiliki kondisi geografis dan budaya yang sama. Kesamaan budaya/peraturan adat dianggap turut berkontribusi dalam menciptakan kondisi yang baik dalam hal bermuamalah terutama terkait dengan pinjam-meminjam. Faktor budaya diukur dengan menggunakan indikator potensi kelompok, pola hubungan antar individu, kerjasama, nilai/norma adat dan agama, dan hubungan yang masing-masing indikator memiliki aspek-aspek pengukuran tersendiri seperti misalnya indikator pola hubungan antar individu diukur dengan aspek saling mengenal, kepercayaan, dan kesamaan aktifitas keseharian. Kondisi karakteristik budaya suatu masyarakat yang baik maka akan turut berkontribusi terhadap sikap dan kepedulian pemerintah dalam menunjang/mendorong program GLM agar terlaksana dengan baik. 

Temuan dilapangan menemukan bahwa anggota kelompok penerima program GLM memiliki hubungan kerjasama yang baik. Hal ini dibuktikan dengan rutinnya mereka mengadakan rapat bulanan serta menghadiri acara-acara yang dilaksanakan terkait dengan program GLM. Di samping itu pula mereka memiliki sikap disiplin dan probem solving yang cukup baik dimana permasalahan yang terjadi selama program berlangsung dipecahkan dengan mencari solusi melalui jalan musyawarah untuk mencapai mufakat. Kondisi masyarakat yang baik tentunya juga akan menambah keyakinan dan semangat pemerintah untuk tetap mendukung program GLM agar berjalan dengan baik dan memfasilitasi melalui modal maupun regulasi/kebijakan. Vipihindrartin (2012) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa pemerintah memiliki peran penting dalam program pembiayaan modal sosial yaitu sebagai pembuat kebijakan, serta sebagai penyedia fasilitas dan monitoring. Artinya, sudah seharusnya pemerintah dapat memaksimalkan perannya melalui Badan Keswadayaan Masyarakat terutama dalam hal pendampingan melalui fasilitator kelurahan serta bersinergi dengan kebutuhan kelompok peminjam. 

Karakteristik budaya juga berpengaruh positif terhadap tingkat efektifitas program GLM yang dicerminkan melalui sikap dan perilaku masyarakat. Sikap/perilaku masyarakat diukur dengan beberapa indikator diantaranya adalah tingkat partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, repayment rate yang baik, cross reporting yang baik, serta penerapan penalty sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan adanya program GLM masyarakat merasakan perbedaan baik dari kondisi ekonomi maupun sosial dari sebelum mengikuti program dan setelah program. Pendapatan masyarakat semakin meningkat setelah mengikuti program GLM, di samping itu juga kehidupan mereka tergolong lebih sejahtera begitupula dengan lingkungan sekitar masyarakat dimana aktifitas perekonomian semakin berjalan dengan lancar. Kono (2007) menyebutkan bahwa repayment rate yang baik dan adanya cross reporting yang baik mengindikasikan efektifnya suatu program modal sosial. Dengan adanya budaya masyarakat yang saling percaya dan lingkungan yang agamis dan dinamis baik secara moral dan spiritual maka dapat meminimalisir terjadinya penyimpangan-penyimpangan atas dana program yang kemungkinan dilakukan oleh anggota kelompok (moral hazard) (Stiglitz (1990), Varian (1990), Banerjee, Besley and Guinnane (1994)). 

Sedangkan peran pemerintah/organisasi berpengaruh negatif terhadap tingkat efektifitas program GLM. Temuan di lapangan mengindikasikan bahwa masyarakat peneriman bantuan modal program GLM belum merasakan sepenuhnya peran pemerintah bagi program ini, terutama dalam hal fasilitas dan modal. Padahal, fasilitas serta modal merupakan aspek utama berjalannya program GLM dengan baik. Di samping itu pula masyarakat belum sepenuhnya paham dengan sistem program GLM ini, hal ini bisa jadi disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkait program GLM. 

Lebih lanjut Vipihindrartin (20012) menyebutkan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan formalitas, dengan demikian masih banyak kelompok peminjam yang belum memahami pentingnya program perguliran dana melalui sebuah program kredit mikro. Berdasarkan hasil temuan penelitian ini, memang sudah saatnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan penting dalam mengawas serta mengatur jalannya program-program keuangan baik skala perbankan maupun non-perbankan. Setiawan (2012) lebih lanjut menegaskan bahwa regulasi dan supervisi yang ketat dipandang sangat penting untuk mengurangi risiko krisis yang diakibatkan kelemahan dan kejahatan dalam sektor keuangan (financial sector’s misdeeds) dan agar tidak tercampuradukkan antara kepentingan individualis, politis, dengan kebutuhan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar